Jumat, 02 Oktober 2009

PERKANDANGAN IDEAL UNTUK PEMELIHARAAN UNGGAS DI WILAYAH PANTAI



Oleh

Gatot Adiwinarto


I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.

Kandang merupakan tempat tinggal bagi ternak, untuk itu harus dibuat agar memenuhi persyaratan, kegunaan kandang adalah untuk melindungi ternak dari berbagai pengaruh luar yang berupa pengaruh fisik ( temperatur, kelembaban, angin, hujan maupun panas serta binatang pemangsa). Dengan demikian perlu dilakukan perencanaan untuk membangun sebuah kandang, perlu dipertimbangkan dari beberapa aspek yang mendukung dapat ditinjau dari segi ekonomis, kenyamanan ternak maupun peraturan pemerintah, sehingga membangun sebuah kandang sebaiknya mempertimbangkan faktor-faktor lokasi, kontruksi dan peralatannya.

Perkandangan yang di dirikan harus memperhitungkan faktor lokasi, dimana kita mendirikan, didaerah pegunungan (temperatur rendah) ataukah di pantai yang memiliki temperatur lingkungan tinggi. Hal ini akan menentukan bentuk kandang yang di bangun. Contoh yang riil pada pemeliharaan unggas pedaging yang pertumbuhannya cepat memerlukan model kandang yang tidak boleh mengganggu performen unggas tersebut (Rasyaf. M, 1992). Lebih lanjut Sudrajat (1998) agar ayam yang hidup di dalam kandang sehat dan nyaman, maka semua bentuk kandang untuk pemeliharaan ayam, baik di fase pertumbuhan maupun di fase produksi harus memenuhi beberapa persyaratan seperti ventilasi, yang sangat berhubungan dengan bentuk dinding dan atap, dari bahan yang baik untuk kandang adalah tidak menghantarkan panas, sinar matahari pagi dapat masuk kandang, ukuran kandang, dan pohon pelindung.

1.2. Masalah

Daerah pantai yang mempunyai iklim yang panas merupakan suatu kendala bagi pertumbuhan ternak, karena pertumbuahn ternak unggas memerlukan kondisi lingkungan yang nyaman. Kenyamanan ternak unggas yang dapat berproduksi optimal berkisar antara suhu 19OC – 21OC dapat tumbuh secara optimal (Rasyaf (2003). Sedangkan suhu udara didaerah pantai rata-rata diatas 26OC (Budi Nugroho dkk, 2001).


1.3. Tujuan

Untuk mencari sistem perkandangan ternak unggas yang tepat di daerah pantai. Sehingga diperoleh produksi yang optimal.



II. KEADAAN TOPOGRAFI DAN WILAYAH

2.1. Keadaan Topografi

Indonesia secara geografis, daerah tropis yang berada pada area 23°LU (Lintang Utara) dan 23°LS (Lintang selatan) ekuator. Lingkungan yang tepat untuk peternakan yang disarankan oleh beberapa ahli peternakan adalah daerah yang berada di 30°LU dan 30°LS. Daerah ini mencakup klimat panas, dimana elevansi ketinggian tempat dan curah hujan yang sangat tinggi sangat berpengaruh terhadap produktifitas dan pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu kawasan seperti ini selalu menghadapi problem (Sihombing, 2000).

2.2. Mikro Klimat Wilayah

Iklim pada umumnya wilayah pantai di Indonesia berada pada altitude (ketinggian tempat) kurang dari 5 mdpl, dengan permukaan dataran landai. Ciri dominan terutama daerah tropik, adalah rata suhu udara relatif tinggi, lebih dari 26°C. Daerah pantai yang mempunyai dataran landai, pepohonan, bangunan yang tinggi jarang, hal ini mengakibatkan tidak ada hambatan bagi gerakan udara, sehingga kecepatan angin relatif tinggi. Pada siang hari akan berhembus angin laut dan pada malam hari akan berhembus angin darat, hal ini merupakan ciri khas di daerah pantai (Budi Nugroho dkk, 2001)


III. SISTEM PERKANDANGAN

Dalam usaha peternakan yang secara komersial sangat diperlukan tempat pemeliharaan yang disebut kandang, sebenarnya kandang adalah suatu tempat atau bangunan yang diperuntukkan untuk ternak agar ternak tersebut dapat hidup dalam keadaan enak, nyaman dan menyenangkan (Comfort), tidak kepanasan oleh sinar matahari, tidak basah oleh air hujan, dan tidak terkena tiupan angin kencang serta melindungi ternak dari serangan ternak lain seperti hewan pemangsa ataupun manusia (Soepardjo Tjokrohoesodo, dkk, 1999).

Perkandangan yang banyak digunakan diwilayah pantai, berupa kandang terbuka dimana sirkulasi udara secara bebas masuk dan keluar kandang dengan dinding dari bilahan bambu, atap sering digunakan dari genteng, sedangkan lantai kandang ada dua model yaitu lantai litter diatas tanah dan lantai litter yang berada secara panggung, peralatan yang digunakan masih konvensional tempat pakan dan minum gantung, letak kandang sangat dekat dengan pemukiman penduduk.


IV. PEMBAHASAN

4.1. Dinding Kandang

Diding kandang yang terbuat dari bilahan bambu yang disusun berderet dengan jarak antara 2 – 5 cm, berfungsi sebagai pelindung ayam dari gangguan luar dan penghalang agar ayam tetap berada didalam kandang. Sebaiknya dinding kandang dibuat dari bahan yang kuat dan rapat tetapi tetap dapat memberikan kondisi yang nyaman bagi lingkungan dalam kandang. Hany Widjaja (2003) mengemukakan pendapat bahwa kemajuan manajemen peternakan sudah mengarah pada perkandangan yang dibuat lebih mewah dengan kondisi tertutup rapat, aliran udara dilakukan dengan menggunakan blower (kipas angin besar) hal ini menjamin ventilasi udara yang baik, sehingga sirkulasi udara dalam kandang terjamin dengan demikian udara segar dari keluar dapat masuk untuk menggantikan udara yang kotor di dalam kandang. Pergantian udara yang sempurna dapat mencegah kondisi yang panas didalam kandang yang disebabkan oleh penguapan kotoran (Soepardjo Tjokrohoesodo, dkk, 1999). Lebih lanjut Rasyaf (2003) menyatakan bahwa udara di dalam kandang yang pengap dan bau dapat menurunkan produksi. Dalam hal ini yang terpenting adalah keluarnya CO2 dan bau aminia yang dapat menganggu kesehatan ayam.

4.2. Lantai Kandang.

Lantai kandang yang digunakan di daerah pantai adalah lantai litter dan ada pula yang lantai panggung. Dari dua model lantai tersebut mempunyai keunggulan masing-masing, misalkan lantai yang terbuat litter ayam akan memperoleh vitamin B12 dari kotoran yang dikais-kaisnya, namun kerugiannya sistem ini kepadatan kandang ayam per m2 lebih sedikit, jika untuk ayam petelur akan menghasilkan telur yang kotor (Titik Sudaryani dan Hari Santosa, 2003).

4.3. Atap Kandang.

Atap kandang yang terbuat dari genting dan sistem yang digunakan dengan konstruksi biasa merupakan model yang banyak dijumpai di daerah pantai, hal ini diperlukan jika pemeliharaan tidak begitu banyak dan kandang tidak terlalu luas.

Untuk menghindari panas lingkungan dan sirkulasi udara yang sempurna konstruksi atap kandang perlu dibuat dalam bentuk monitor, terutama untuk ayam dalam jumlah yang besar. Bahan atap sebaiknya dipilih dari bahan yang ringan, murah dan tidak menghantar panas misalnya genting (Rasyaf, 2003)


V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian tersebut diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pemeliharaan ternak unggas di daerah pantai, masih dilakukan secara konvensional dengan perkandangan yang masih sederhana, baik kondisi kandang maupun peralatan yang digunakan dalam pemeliharaan ayam.

Sebagai saran demi perbaikan sistem perkandangan yang nyaman bagi ternak dengan suhu rendah dan sirkulasi udara yang baik, dengan mengunakan kandang panggung, dinding kandang terbuka, terbuat dari bahan yang kuat, bentuk atap monitor, atau yang lebih modern dapat berbentuk kandang tertutup (Close hause) yang aliran udara dapat diatur.



DAFTAR PUSTAKA

Budi Nugroho, Dwi Joko Priyono F., John Tetalepta, Neneng L. Nurida, Rini Hidayati, Rustamsjah dan Wawan. 2001. Pengelolaan wilayah pesisir untuk pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Makalah Kelompok IV. Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Hany Widjaja, 2003. Rumah Idamanku (Sistem Kandang Tertutup Bagi Ayam Modern). CP-Buletin Service. Pokphand. Edisi Oktober 2003. Nomor 46 / Tahun IV.

Rasyaf. M, 1992. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging. Penerbit Kaniseus. Yogyakarta.

_________, 2003. Beternak Ayam Pedaging. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.

Sihombing DTH., 2000. Lingkungan ternak. Modul Universitas Terbuka. Jakarta.

Soepardjo Tjorohoesodo, Eduard Azwar Sinar dan Tuti Maria Wardiny. 1999. Bangunan dan Peralatan Kandang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Universitas Terbuka. Jakarta.

Sudrajat, 1998. Budidaya Ternak Unggas. Diterbitkan Universitas Terbuka. Jakarta.

Titik Sudaryani dan Hari Santosa, 2003. Pemeliharaan Ayam Ras Petelur di Kandang baterai. Penebar Swadaya. Jakarta.

PENGARUH IKLIM

PENGARUH IKLIM TERHADAP PERTUMBUHAN

TERNAK UNGGAS DI DAERAH TROPIS

Oleh

Gatot Adiwinarto

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Prestasi ayam broiler dapat dicapai berdasarkan dua faktor. Faktor genetik merupakan bahan dasar ternak hasil dari keturunan yang baik, serta untuk tumbuh dengan baik memerlukan faktor lingkungan yang baik pula. Lingkungan menurut Pringgoseputro dan Srigandono (1990), berarti semua faktor eksternal yang bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan, perkandangan dan reproduksi organisme. Cuaca adalah salah satu faktor lingkungan dimana menurut Brotowijoyo (1987) merupakan kondisi lingkungan yang tersusun dari temperatur, presipitasi, tekanan barometer, kelembaban, arah dan kecepatan angin, awan yang menutupi, dan sebagainya pada waktu dan tempat tertentu.

Pengaruh lingkungan yang tidak baik pada ternak akan mengakibatkan perubahan status fisiologis, yang disebut stres atau cekaman. Stres banyak sekali penyebabnya, salah satunya adalah lingkungan, yang timbul dari beberapa faktor yalitu teknik peternakan, iklim atau cuaca, kandang makanan, antimetabolit, tingkah laku ternak, serta berbagai interaksi seperti : antara makanan dengan lingkungan, antara cuaca dengan lingkungan, dan antara genetik dengan lingkungan (Sihombing dkk., 2000).

Dikatakan oleh Hort dan Mathur (1989) kendala umum yang dihadapi oleh ternak khususnya di daerah tropis yaitu stres panas, yang mengakibatkan pengaruh secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung reaksinya melalui stres terhadap mekanisme pengaturan suhu tubuh, sedang secara tidak langsung terhadap kualitas pakan pada ayam kemudian menyusul reaksi tubuh terhadap kemampuan menjaga fungsi-fungsi normal tubuh terutama dalam hal produksi maupun penampilan produksi (secara individu), yang dikenal dengan istilah adaptasi produktif (Productive adaptability). Ayam broiler termasuk ternak yang peka terhadap suhu lingkungan, menurut Winter dan Fungk (1966) suhu 10 °C – 32 °C masih ditolerir oleh ayam, sedangkan suhu optimal untuk pemeliharaan broiler menurut Prince et al (1961), Reece dan Deaton (1981) yang dikutip Rozany (1982) adalah diantara 15 °C – 27 °C. Berdasarkan micro climate di Indonesia, suhu rata-rata daerah dataran rendah berkisar antara 23 °C – 35 °C, dan 20 °C – 30 °C untuk daerah dataran tinggi (Nasroedin, 1985).

1.2. Masalah

Ayam broiler dapat tumbuh dengan optimal pada temperatur antara 19 – 21°C, jika ternak tersebut mendapatkan cekaman panas bagaimana cara melepaskan atau mengurangi beban panas yang di deritanya.

II. PEMBAHASAN MASALAH

2.1. Sistem Pembuangan Panas Pada Ternak

Ternak dalam kehidupannya secara fisik dipengaruhi oleh lingkungannya baik itu lingkungan fisik, lingkungan biologi dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik yang secara langsung diterima oleh ternak antara lain, dari tanah, temperatur, sinar matahari, kelembaban dan juga angin. Ternak untuk mempertahankan diri dari lingkungan yang mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung, akan memproduksi panas. Panas tersebut yang diproduksi oleh ternak akan menggantikan panas yang hilang akibat penyesuaian suhu tubuh ternak.

Ternak dalam melepaskan panas untuk menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya melalui radiasi, konveksi, konduksi, evaporasi dan metabolisme. Perpindahan energy yang dikeluarkan ternak pada lingkungannya sesuai dengan panas yang dihasilkan (Hafez. By. E.S.E, 1968).

2.2. Konduksi

Konduksi adalah perpindahan panas dari ternak yang mempunyai suhu lebih tinggi pada sebuah benda yang suhunya lebih rendah. Kecepatan dari beberapa konduksi panas dari berbagai subtansi alam, misalnya konduktivitas panas dari perak adalah 1000 ; kulit manusia 3,5 – 0,8 (tergantung dari aliran darah); air 1,4 ; kelinci 0,06 ; udara 0,056. Sehingga kecepatan konduksi panas memasuki kulit adalah sama jumlahnya seperti yang masuk pada perbandingan dari air, tetapi lebih tinggi 10 – 60 kali dari pada perbandingan pada penyulingan air (Hafez. By. E.S.E, 1968).

Konduksi terjadi tergantung dari pada 1) kontak fisik dengan benda atau permukaan sekelilingnya; 2) temperatur dari permukaan tersebut (tinggi temperatur); 3) konduktivitas ternak, temperatur dan luas permukaan yang kontak. Misalnya huniditas yang tinggi di musim dingin akan meningkat rasa dingin, oleh karna itu ditingkatkan konduktivitasnya melalui perlakuan penutup. Air dingin merupakan alat pendingin yang efisien dan efektif melalui konduksi. Berbagai metal mudah mengkonduksi panas, sedangkan udara, minyak, lemak, bulu, rambut, nilon, sutera, kayu dan wol sukar mengkonduksi panas. Sebab itu manusia memilih panci penggorengan dari metal (dengan alat pegangan dari kayu). Panas hilang melalui konduksi, namun dapat diminimalkan dengan insulasi fur dan pakaian penutup. Sapi dan babi mendisipasi panas melalui konduksi dengan tidur di lantai yang dingin (Sihombing dkk, 2000). Panas yang dihasilkan ternak dapat hilang dari tubuh dengan cara kontak lansung dengan permukaan yang lebih dingin. Sebaliknya ternak juga dapat menambah panas melalui kontak denga permukaan yang lebih panas. Jumlah energy panas yang dapat dipindahkan melalui konduksi, tergantung pada perbedaan temperatur diantara dua tempat, luasnya permukaan yang kontak, dan penutup dari dua benda yang saling berkontak. Perpindahan panas hingga ke struktur badan juga melalui proses konduksi. Pemindahan panas dari ternak ke lantai kandang akan lebih besar jika ternak tiduran dari pada berdiri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan disspasi panas melalui konveksi diantaranya adalah : 1) luas permukaan tubuh, 2) kecepatan permukaan tubuh, 3) temperatur permukaan tubuh ternak, dan 4) tmperatur sekitar.

Udara dekat ternak biasanya leibh panas dari udara lingkungan sekitarnya. Menggantikan lapiasan udara yang mengelilingi ternak dengan udara lingkungan yang dingin akan memindahkan panas dari ternak melalui konveksi.

Pada udara yang diam, suatu benda yang lebih panas dari udara akan menyebabkan udara dekat benda tersebut dihangatkan. Karena udara tersebut lebih panas dari udara sekitar yang juga kurang padat, maka udara yang panas akan naik, membawa panas dari benda panas tadi dan serentak membawa udara yang lebih dingin di sekeliling benda tersebut. Konveksi dipertinggi oleh angin, mungkin mendinginkan ataupun memanaskan ternak, tergantung dari apakah udara tersebut lebih dingin atau lebih panas dari temperatur permukaan tubuh ternak (Sihombing dkk, 2000).

Dengan demikian konveksi merupakan mekanisme pemindahan panas dari satu molekul ke molekul lain dengan kontak fisik (panas ditranfer ke udara, panasnya udara meningkat, lalu udara membawa panas tersebut bersamanya). Akibatnya, udara yang datang lebih dingin menggantikan udara yang lebih panas, atau sebaliknya (Hafez. By. E.S.E, 1968).

2.3. Evaporasi

Suatu sarana yang palin penting untuk melepaskan panas yang tinggi adalah melalui evaporasi. Evaporasi dari kulit tergantung pada : temperatur dan uap lembab kulit, penutup kulit (rambut, Wool, bulu), humiditas, kecepatan dan temperatur udara sekitar, laju dan volume respirasi/pernafasan, ketersediaan air untuk dievaporasikan, luas permukaan tubuh ternak (Sihombing dkk, 2000).

Proporsi banyaknya panas yang hilang oleh evaporasi dapat diubah oleh pengukuran bulu atau wol. Ternak ungga yang berbulu normal kehilangan sekitar 50% panasnya oleh evaporasi, sedangkan unggas berbulu keriting hanya kehilangan 15 – 20% panasnya oleh evaporasi, karena kelilangan panas unggas berbulu keriting lebih banyak melalui radiasi.

Pada ternak yang tidak berpeluh, sangat sedikit uap air yang keluar dari kulitnya yaitu hanya uap lembab yang mencapai permukaan oleh osmosis, atau permeabilitas fisis dan bukan dari aktivitas kelenjar keringat. Unggas tidak memiliki kelenjar keringat oleh karena itu pendinginan evaporatif dilakukan dengan mengengah-engah (panting) yang biasanya dimulai pada temperatur lingkungan 26,7 – 32,2 OC.

Pendinginan evaporatif juga telah terbukti berhasil pada kandang ayam petelur dengan lingkungan terkontrol. Sewaktu temperetur lingkungan diluar kandang 37,8OC (100 OF) atau lebih, kemudian didinginkan dengan menggunakan kipas exhaust untuk menarik udara melalui permukaan basah (air disirkulasi melalui wol-kayu atau ekseltor, di dinding samping) sehingga menurunkan temperetur kandang 10 – 15OF (menjadi 32,2 – 29,4OC) akan meningkatkan jumlah telur yang dihasilkan (Hafez. By. E.S.E, 1968).

2.4. Radiasi.

Radiasi adalah suatu alat yang sangat penting untuk penghilang panas dari ternak ke benda yang lebih dingin dan ternak memperoleh panas dari benda yang lebih panas. Energi radiasi tidak memanaskan udara secara langsung, tetapi secara tidak langsung memanaskan permukaan padat, seperti tanah, air, bangunan, pepohonan, kabut, debu, ternak dan sebagainya. Dengan cara ini energi radiasi diubah menjadi energi termal, yang selanjutnya memanasi udara melalui konduksi dan konveksi, dan memasuki benda padat melalui pantulan radiasi (Sihombing dkk, 2000).

Memperoleh atau kehilangan panas yang ditransfer gelombang sinar infra merah (> 700 mu, milimikron) tergantung bukan hanya pada temperatur tetapi juga pada warna dan tektur benda (makin gelap dan makin kasar permukaan benda akan memaksimalkan proses radiasi).

Faktor yang mempengaruhi kehilangan atau perolehan panas melalui radiasi adalah : 1) luas permukaan tubuh, 2) temperatur kilit ternak, 3) temperatur udara sekeliling ternak, 4) emisivitas (emissivbity, absorptivity) kulit ternak, yakni kesanggupan tubuh ternak menyerap dan memancarkan panas.

2.5. Pengaruh Iklim Terhadap Pertumbuhan

Efek dari iklim yang panas pada ayam broiler akan mengakibatkan menurunkan konsumsi pakan, dan meningkatkan konsumsi air minum untuk mengimbangai dan menyesuaikan suhu tubuh dengan suhu lingkungan. Dengan menurunnya konsumsi pakan maka nilai nutrisi yang masuk dalam tubuh juga akan berkurang, yang selanjutnya pada bobot badan yang dihasilkan juga akan menurun jika dibandingkan dengan ayam broiler yang dipelihara pada suhu yang termonetral.

Soeharsono, (1976) Dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada fase pertama pengendalian berupa peningkatan produksi panas atau pengeluaran panas, sedang pada fase kedua bersifat peningkatan atau pengurangan pemasukan energi. Yang segera tampak dari efek temperatur lingkungan yang tinggi dalam keseimbangan produksi panas adalah perubahan temperatur tubuh, sedangkan dalam pengaturan pemasukan energi ini ialah adanya perubahan konsumsi ransum. Dalam hal ini naiknya temperatur lingkungan menyebabkan naiknya temperatur tubuh dan disusul oleh menurunnya konsumsi ransum yang akhirnya dapat menurunkan pertumbuhan. Oleh karena itu konsumsi ransum merupakan kunci pengaruh pola keseimbangan antara zat-zat makanan dalam ransum di daerah tropik, terutama imbangan kalori/protein.
IV. KESIMPULAN

Ayam broiler yang mempunyai suhu pertumbuhan optimal 19 – 21°C, apabila mendapat cekaman suhu panas akan menyesuaikan dengan konduksi berbaring pada lantai, konveksi dengan meregangkan sayap untuk memperluas permukaan tubuh, radiasi dengan memantulkan panas yang diterima melalui bulu-bulunya dan respirasi dengan terlihat mempercepat pernapasan “panting”.


DAFTAR PUSTAKA


Ames, 1995. Tunnel Ventilation to Alleviate Animal Heat Stress. Iowa State University Extension.

Brotowijoyo, 1987. Parasit Parasitisme. Penerbit PT Penebar Swadaya. Jakarta.

Hafez. By. E.S.E, 1968. Adaptation of Domestic Animals. Lea and Febiger. Philadelphia.

Horst P. dan Mathur P.K., 1989. Position of local fowl for tropically oriented breeding activities. In genotip x environtment interaction in poultry production. Edit, P. Merat, Jony. En-Josas (France) May 9 – 11. P: 159 – 174.

Nasroedin, 1985. Poultry Hausing in Tropical Climate / Indonesia.

Pringgosaputro S. dan Srigandono B., 1990. Dalam Terjemahan Ekologi Umum. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Rozany H. R., 1982. Pengaruh minyak kelapa dan minyak kacang tanah terhadap pertumbuhan ayam pedaging. Tesis, Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Soeharsono, 1976. Respon broiler terhadap berbagai kondisi lingkungan. Disertasi pada Universitas Negeri Padjadjaran.

Sihombing. DTH, dkk, 2000. Lingkungan Ternak. Universitas Terbuka. Jakarta.